Kṣatriya Wangsa: Lahir untuk Melindungi Dharma
Kṣatriya Wangsa: Lahir untuk
Melindungi Dharma
NK. Surpi Aryadharma
Tatanan kehidupan masyarakat sangat penting dalam
menciptakan kesejahteraan. Dalam konsep Hindu, tatanan kehidupan dikenal
sebagai varṇāśrama dharma. Varṇāśrama merupakan sistem sosial Veda
berupa empat tatanan sosial dan empat tatanan spiritual. Sistem sosial Veda ini bertujuan menjamin
kesejahteraan masyarakat dan tercapainya tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Sistem sosial Veda ini semestinya harus ditegakkan demi pencapaian agung
kehidupan manusia dan keteraturan semesta. Akan tetapi yang terjadi dewasa ini
adalah tidak tegaknya varṇāśrama dharma,
sehingga menimbulkan kekacauan, berbagai persoalan dan Dharma, seolah tidak
lagi ditegakkan. Konsep sosial ini sesungguhnya merupakan konsep sentral dan
sangat penting dalam Kitab Suci Veda yang merupakan literatur paling kuno di
muka bumi ini dan sekaligus kitab suci bagi penganut sanātana dharma.
Ajaran Varṇāśrama
dharma merupakan pembahasan yang sangat penting dalam Kitab-Kitab Purana. Swami
Sivananda (1996) menjelaskan purana memiliki lima karakteristik (pancha-lakshana) yakni sejarah,
kosmologi, penciptaan tahap kedua, genealogi raja-raja dan manvantara. Selain
itu, sejumlah hal penting menjadi pembahasan utama seperti varṇasrama dharma,
yang terkait dengan penciptaan serta pemeliharaan alam semesta. Varṇasrama
dharma terkait dengan tatanan sosial dan tatanan spiritual yang harus dijalani
demi peningkatan kehidupan dan memuaskan Tuhan.
Menurut kitab-kitab purana, Varṇāśrama Dharma telah tercipta bersamaan dengan proses penciptaan
semesta beserta isinya. Penjelasan dalam Kurma Purana bahwa Visnu mengatakan bahwa sebelum
terjadinya penciptaan di dunia ini tidak ada apapun, hanya ada air dan Visnu
tertidur dalam air itu. Ketika waktu penciptaan tiba, Brahma tercipta dari
tubuh Visnu. Siva terlahir dari kemarahan Visnu. Laksmi juga tercipta dari
tubuh Visnu dan mendapatkan tempat di sisi Visnu. Brahma berkata kepada Visnu,
“perintahkanlah dewi yang tercipta ini untuk memusnahkan ciptaan yang akan Ku
cipta. Katakan padanya untuk menanamkan benih ilusi dalam pikiran mereka. Tolong
perintahkan padanya untuk menanamkan kebenaran.” Visnu meluluskannya. Dia
berkata kepada Laksmi, “lebur dan hancurkan dewa, raksasa, manusia yang akan
segera diciptakan. Tetapi biarkanlah hanya kebenaran yang tersisa. Aku akan
memberitahumu cara membedakan kebenaran itu. Orang-orang yang melakukan
kebenaran adalah orang yang mengikuti konsep varṇāśrama dharma. Dalam Kurma Purana ini ditegaskan bahwa manusia
yang melaksanakan kebenaran adalah mereka yang mengikuti konsep varṇāśrama dharma. Dengan demikian,
konsep ini mengandung kebenaran yang sangat tinggi sejak diciptakan semesta
ini.
Agni Purana menyatakan semua Manu yang memerintah pada
setiap Manvantara selalu mengikuti
aturan Dharma, yaitu tanpa kekerasan, kejujuran, kasih sayang, Tirtayatra,
memberikan sedekah, memuja Tuhan, melakukan pelayanan kepada para Dewa dan
Brāhmana, bersikap toleransi pada setiap keyakinan serta mengikuti petunjuk
kitab suci. Dalam hal ini mereka juga mengikuti aturan catur varṇa dan empat tahapan kehidupan (catur asrama). Empat varṇa
yang dimaksud adalah, Brāhmana, Ksatriya, Vaiśya dan Śūdra. Catur asrama yakni
Brahmacāri, gṛhastha, vanaprasta dan sanyasi.
Varṇāśrama Dharma merupakan
salah satu prinsip dasar dalam Hindu. Olehnya
Varṇāśrama Dharma dibahas secara luas
dalam teks Sruti dan Smerti.
Sri Krishna dalam Bhagavad Gita IV.13 menegaskan ;
cātur-varṇyaṁ mayā
sṛṣṭaṁ guṇa-karma-vibhāgaśah
tasya kartāram api
māṁ viddy akartāram avyayam
Menurut tiga sifat alam dan pekerjaan yang ada
hubungannya dengan sifat-sifat itu, empat bagian masyarakat manusia diciptakan
oleh-Ku. Walau akulah yang menciptakan sistem ini, hendaknya engkau mengetahui
bahwa Aku tetap sebagai yang tidak berbuat, karena Aku tidak dapat diubah.
brāhmaṇa-kṣatriya-viśāṁ
śūdrāṇāṁ ca parantapa
karmāṇi
pravibhatāni svabhāva-prabhavair guṇaiḥ
Para brāhmaṇa, para
kṣatriya, para vaiśya, dan para
śūdra dibedakan oleh ciri-ciri yang dilahirkan dari watak-watak
mereka sendiri menurut sifat-sifat material wahai penakluk musuh.
Dalam Bhagavad Gita tersebut
ditegaskan bahwa cātur-varṇa
diciptakan oleh Tuhan sendiri demi kebaikan tatanan masyarakat. Pembagian
golongan ini ditegaskan menurut guṇa-karma
(guṇa-karma-vibhāgaśah). Guṇa merupakan watak, tabiat atau ciri
kelahiran. Sementara karma dapat diartikan sebagai lapangan pekerjaan atau
profesi. Brāhmaṇa, para kṣatriya, para vaiśya, dan
para śūdra dibedakan atas ciri watak
kelahiran atau sifat dasar mereka sendiri (svabhāva).
Svabhāva ini bisa jadi merupakan
sebuah keunggulan pribadi, atau bakat alam yang dimiliki.
Cātur-varṇa sesuai dengan konsep Veda bukan merupakan merupakan
kasta dalam pengertian umum saat ini yang mencerminkan keturunan atau garis
keluarga tanpa memandang guṇa-karma melainkan
pilihan yang merupakan bakat dasar atau keunggulan pribadi seseorang. Sejumlah penulis
menegaskan pengelompokan ini bukanlah untuk mengangkat, meninggikan satu
kelompok dan merendahkan atau menistakan kelompok lain. Akan tetapi justru
merupakan pengelompokan secara profesional dimana setiap orang dapat bekerja
sesuai dengan bakat dan minat serta keahliannya.
Kṣatriya merupakan golongan kedua dalam konsep catur varṇa. Kurma Purana menyebutkan mereka
diciptakan dari tangan Brahma. Tugas dari ksatriya adalah dāna (melakukan amal), adhyayana (belajar) dan melakukan yajña (pengorbanan). Tetapi tugas utama
mereka adalah menghukum orang-orang jahat dan melindungi orang-orang baik.
Seorang ksatriya yang melakukan tugas ini dengan baik maka ia akan mencapai
tempat kediaman Indra yaitu Indraloka.
Dalam tatanan sosial, kṣatriya
merupakan golongan yang bekerja melalui kekuatan. Dalam mantra puruṣa
sūkta, kṣatriya disimbolkan dengan
bahu/tangan, karena pada bahu terdapat kekuatan. Siapa saja yang bekerja dengan
kekuatan untuk melindungi atau kesejahteraan negara disebut sebagai kṣatriya. Sri Krishna dalam Bhagavad
Gita melukiskan sifat-sifat seorang ksatria, yakni;
śauryaṁ tejo dhṛtir dākṣyaṁ yuddhe cāpy apalāyanam
dānam iśvara-bhāvaś ca kṣātraṁ karma svabhāva-jam
Bhagavad Gita XVIII.43
“Kepahlawanan, kewibawaan, ketabahan hati, pandai memanfaatkan keadaan,
keberanian di medan perang, kedermawanan dan kepemimpinan adalah sifat-sifat
pekerjaan yang wajar bagi para kṣatriya. “
.
Kepahlawanan, kewibawaan, ketabahan hati, pandai
memanfaatkan keadaan, keberanian di medan perang, kedermawanan dan kepemimpinan
merupakan kualifikasi bagi para pemimpin dan kaum kṣatriya yang bertugas melindungi dan mengatur negara. Kualifikasi
ini ditegaskan dalam Bhagavata Purana. Bhagavata Purana bab VIII. 26 ketika
diceritakan Maharaja Dhruva meninggalkan rumahnya karena ketidak-adilan yang
diterimanya.
aho tejaḥ kṣatriyāṇāṁ
māna-bhaṅgam amṛṣyatām
bālopy ayaṁ hṛda dhatte
yat samātur asad-vacaḥ
“Betapa menakjudkan para kṣatriya
yang perkasa. Mereka tidak bisa menoleransi bahkan pelanggaran kecil sekalipun
terhadap harga diri mereka. Bayangkan ! Anak ini hanyalah seorang anak kecil,
namun terbukti bahwa ia tidak bisa menoleransi kata-kata kasar ibu tirinya. “
Secara alami darah kṣatriya
Mahārāja Dhruva sangat aktif. Guru
Spiritual Bhaktivedanta Swami Prabupada menyatakan kualifikasi kṣatriya
dijelaskan dalam Bhagavad Gita. Dua kualifikasi penting bahwa kṣatriya memiliki
harga diri dan tidak lari dari medan perang. Dalam sloka berikutnya Rsi Agung
Nārada menasehatkan agar Mahārāja Dhruva kembali ke rumah dan bermain-main
sebagaimana layaknya seorang anak kecil dan tidak perlu tersinggung dengan
ucapan ibu tiri yang telah merendahkannya. Sang Rsi ingin memberi kesan dan
menguji bahwa ia hanyalah seorang anak kecil dan tidak perlu terpengaruh dengan
kata-kata penghinaan atau penghormatan. Bukan hanya itu, Rsi
Nārada menegaskan bahwa pertapaan merupakan hal yang sangat sulit dan mustahil
dilakukan oleh seorang anak kecil. Akan tetapi segala nasehat Rsi Nārada yang sesungguhnya bermaksud menguji
tekad Mahārāja Dhruva tidak berhasil mengurungkan niatnya. Dhruva sudah
berketetapan hati untuk melakukan pertapaan keras guna memuaskan Personalitas
Tuhan Yang Maha Esa. Inilah kualifikasi lain dari seorang kṣatriya yakni teguh, kokoh pada pendirian. Nilai ini tentu saja sangat penting bagi
seorang kṣatriya.
Seseorang yang tidak teguh pada pendirian, bahkan bisa
berubah pikiran hanya dengan provokasi semata. Hal ini terjadi dalam sejarah
keruntuhan Majapahit di Nusantara, dimana sang Raja Prabu Brawijaya V,
mengurungkan niatnya melanjutkan perjalanan ke Bali hanya karena dibujuk oleh
Sunan Kalijaga. Parahnya, sang raja malah berhasil dibujuk mengganti
kepercayaanya, berubah menjadi agama Islam hanya dialog singkat dengan Sunan
Kalijaga. Kehancuran sebuah negara bisa terjadi karena para pemimpinnya kaum kṣatriya tidak kokoh pada Dharma, tidak
memiliki ketetapan hati yang mantap.
Tugas membangun negeri seutuhnya juga ditunjukkan oleh
ksatriya Pandawa. Dalam Bhagavata Purana diceritakan Yudhisthira diberi daratan
tandus dan kering dengan nama Kaṇḍavaprastha.
Oleh kecekatan, kerja keras dan memohon dukungan serta bantuan para Dewa,
Pandawa mampu mengubah daratan tandus menjadi indah yang kemudian bernama
Indraprastha yang sejahtera dan makmur. Inilah tugas total ksatriya dimana ia
harus mampu mengubah suatu wilayah yang kering dan tandus sekali pun menjadi
wilayah yang subur dan mensejahterakan masyarakat. Ucapan Vidura dalam
Bhagavata Purana mencerminkan keadaan tersebut ;
“Karena ia menjadikan indah, dan saudara laki-lakinya bisa menundukkan semua
raja Bharatavarsa dan melaksanakan Rājasūya, putramu menjadi sangat cemburu dan
merencanakan untuk merampok mereka. Kamu membenarkan tindakannya dalam cara
apapun. Kamu membangun aula perjudian dan kamu menipu putra saudaramu. Mereka
kehilangan kerajaan mereka dan diri mereka. Dan manakala anak yang bernasib
sial itu, istri mereka Draupadi, dengan rambut dan mantelnya ditarik, datang
kepada kamu untuk minta keadilan, untuk bantuan dari sergapan padanya, kamu
tidak memperhatikan kata-katanya. Dan kamu mengijinkan mereka untuk dibuang ke
hutan selama tiga belas tahun. Apakah itu tidak salah ? Dan sekarang apa yang
telah terjadi ? Yudhiṣṭhira memenuhi kondisi pengasingan. Ia tinggal di dalam
hutan selama dua belas tahun dan tahun
yang ketigabelas telah diselesaikan. Sekarang setelah semua ini, ia minta
keadilan. Ia ingin bagian kerajaan, kamu dan putramu yang terlalu tamak akan
harta untuk menyerahkan keuntungan tidak halalmu. Kamu berkeberatan untuk
mendengarkan dia. Kamu memberitahukan kepadanya untuk pergi ke hutan. Apakah
itu tidak salah ? sekarang pun sudah terlambat. Di dalam umur tuamu, kamu dapat
mempunyai kedamaian jika kamu mendengarkan Krsna yang datang kepada kamu dengan
suatu pesan perdamaian. “ Vidura mencoba untuk menjelaskan Dharma kepada raja
itu. (27)
Vidura berkata : “Saudaraku, dengan jelas kamu nampak tidak menyadari
bahaya yang menunggu kamu dan putramu. Adalah jelas bahwa kamu, di dalam
ketololanmu, melupakan sumbah Bhima yang seram...Krsna yang adalah Tuhan di
dalam bentuk manusia telah mengumumkan bahwa Pandava sayang kepadanya. Oleh
karena itu, para Dewa berada di pihak Pandava. Apakah kamu tidak melihat Lakṣmī,
Dewi Kekayaan akan menyokong dimana Tuhan hadir ? Semua dosa masa lampumu sudah
mengambil suatu bentuk dan itu adalah putramu Duryodhana. Kaum bijaksana
mengatakan bahwa satu orang dikorbankan untuk kepentingan keluarga; keluarga
untuk kepentingan desa; desa untuk kepentingan bumi dan masyarakat sendiri
harus dikorbankan untuk menyelamatkan jiwa seseorang. Tolong tinggalkan Duryodana.
Dengarkanlah nasehatku. Aku berkata apa yang baik untukmu.”
Vidura yang merupakan mahamentri memberikan nasehat
bagaimana semestinya seorang raja selaku pimpinan negara bertindak dan
bagaimana ia telah salah bertindak yang sangat memihak kepada putranya atas
nama kasing sayang. Vidura mengajarkan demi sebuah negara, demi kepentingan
yang lebih besar, satu orang dapat dikorbankan untuk kepentingan keluarga,
keluarga dapat dikorbankan untuk kepentingan bumi. Tetapi raja Drestarasta
sebagai seorang raja tidak memiliki pandangan itu. Ia lupa kedudukannya sebagai
raja yang harus memikirkan kepentingan negara, tetapi selalu memihak dan tidak
menolak kepentingan putranya yang berwatak jahat di bawah asuhan Sakuni. Vidura
juga menegaskan bahwa Lakmi, Dewi Kekayaan akan berpihak dan menyokong sebuah
pemerintahan dimana Tuhan hadir, dimana kebenaran hadir.
Tentang keagungan seorang pemimpin/Raja, terlihat dari
sikap para raja ketika Yudhiṣṭhira ingin menyelenggarakan Rājasūya. Empat
saudara laki-laki Yudhiṣṭhira dikirim ke empat penjuru untuk memproklamirkan
kedaulatan Yudhiṣṭhira. Mereka kembali dengan kekayaan tak terukur dan mereka
kebanyakan tak dirintangi oleh para raja dari negara-negara yang mereka
kunjungi. Alasannya sederhana, Yudhiṣṭhira dihormati oleh semua orang karena ia
adalah seorang raja yang adil, seorang yang sangat lembut dan orang mulia yang
telah mengalami sangat banyak kesengsaraan. Jadi kualitas seorang raja akan
menentukan cara pandang kerajaan lain. Jika raja yang dimiliki adalah raja yang
adil, bijaksana dan layak untuk dihormati, sehingga tidak membutuhkan diplomasi
yang ketat, bahkan pertumpahan darah untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini,
keberadaan sosok raja sangat penting dan menentukan martabat sebuah negara.
Srimad Bhagavatam juga menguraikan sifat-sifat serta
tugas dan kewajiban seorang raja ;
“...Svayambhū Manu pergi kearah Bindusara. Bersama dengan dia ada istrinya
Satarūpa dan putrinya Devahūtī. Ia telah membawa permata dan sutera mahal dan
ia pergi ke āśrama Kardama. Kardama baru saja menyelesaikan pemujaan api. Ia
menjadikan dirinya bersinar seperti api karena kebangkitan rohani di dalam diri dan melihat Tuhan. Manu senang
melihat bahwa ia sangat tampan dan bahwa ia mempunyai mata yang lembut dan
penuh dengan rasa kasih. Manu bersujud di kaki Kardama. Kardama memberkati dia
dan menawarkan Arghya, Padya dan hal-hal lain yang ditawarkan kepada seorang
tamu. Manu menerima semua dengan kerendahan hati dan duduk di kaki ṛṣi. Kardama
berbicara dengan manis kepadanya tentang kesejahteraan kerajaannya dan
kebahagiaan orang dibawah pemerintahannya. Ia berkata,” Aku dihormati karena
kunjungan orang termasyur sepertimu; engkau adalah raja dunia dan engkau datang
ke tempat sederhanaku. Aku menghormatimu sebab engkau adalah gambaran Nārāyaṇa.
Seorang Raja disebut Tuhan sendiri. Ia disebut matahari, bulan, api, Indra,
Vāyu, Yama, Dharma, Varuṇa dan Nārāyaṇa. Dengan keberaniannya ia seperti
matahari. Ia menyenangkan dengan kemanisan pada wajahnya dan ia menyerupai
bulan. Kuasanya menjadi sangat agung, kematian tidak bisa mendekati dia dan ia
menyerupai Agni, api. Ia menghujani kemakmuran dan kekayaan pada kerajaan yang
ia perintah dan dengan demikian seorang raja disebut seperti Indra. Ia perlu
mengetahui pemikiran yang paling dalam dari mereka yang ada di sekitar dia,
seperti udara- Vāyu yang dapat masuk dimana-mana. Pembinasaan kejahatan adalah
perannya seperti Yama, dan melindungi kebaikan, seperti Dharma. Martabatnya dan
kebesarannya itu seperti Varuṇa dan dia adalah wakil Nārāyaṇa diatas bumi. Ini
adalah alasan mengapa seorang raja harus dihormati seperti ia adalah makhluk
Tuhan.
Manu berkata, “Engkau telah dilahirkan dari muka Tuhan untuk menyebarkan tapa,
pengetahuan, tanpa pamrih, kebebasan. Kami kṣatriya
lahir dari lengan Tuhan untuk melindungi jiwa agung seperti engkau dan untuk
membantu engkau menyebarkan pelajaran yang sudah engkau pelajari. Kita
melindungi satu sama lain dan manakala engkau mengatakan bahwa engkau senang
dengan aturanku aku menganggap sebagai kebaikan besar bahwa aku telah mampu
menyenangkan engkau. Mengasihi seperti engkau, engkau mendengarkan kata-kataku
dan mengabulkan apa yang aku minta.”
“Aku mempunyai lima anak. Uttanapada dan Priyavrata adalah putraku dan
putriku adalah Akuti, Prasūtī dan Devahūtī. Menjadi bapak putri adalah sulit.
Aku merasa cemas seperti siapa yang akan cocok menikah dengan para putriku. Ini
putriku, Devahūtī, telah mendengar tentang engkau dan kemuliaanmu dari Nārada
dan kemudiaan dia telah menetapkan hatinya padamu. Dia telah memilihmu sebagai
suaminya. Nārāyaṇa juga telah memerintahkan aku untuk mendekatimu dengan
permintaan ini. Aku kemudian meminta engkau mengabulkan harapanku. Terima
anakku dan hormati aku.”
Dari uraian diatas juga disebutkan salah satu tugas
ksatriya adalah melindungi jiwa-jiwa agung dan memastikan dapat melakukan tugas
dan kewajiban tanpa gangguan. Ksatriya memang memiliki tugas khusus untuk
menjamin kesejahteraan negara dan sebagai tempat perlindungan demi tegaknya
dharma.
Kitab-kitab Purana menguraikan tugas-tugas seorang raja
amatlah berat dan mulia. Sebab ia harus menjadi pemimpin dari masyarakat,
menentukan arah peradaban dan melindungi jiwa-jiwa agung. Untuk dapat mengemban
tugas yang maha berat itu, seorang kṣatriya
harus memiliki kualifikasi yang pantas. Seorang raja, ia disebut matahari,
bulan, api, Indra, Vāyu, Yama, Dharma, Varuṇa dan Nārāyaṇa. Dengan
keberaniannya ia seperti matahari. Kuasanya menjadi sangat agung, kematian
tidak bisa mendekati dia dan ia menyerupai Agni, api. Ia menghujani kemakmuran
dan kekayaan pada kerajaan yang ia perintah dan dengan demikian seorang raja
disebut seperti Indra. Ia perlu mengetahui pemikiran yang paling dalam dari
mereka yang ada di sekitar dia, seperti udara- Vāyu yang dapat masuk
dimana-mana. Pembinasaan kejahatan adalah perannya seperti Yama, dan melindungi
kebaikan, seperti Dharma. Martabatnya dan kebesarannya itu seperti Varuṇa dan
dia adalah wakil Nārāyaṇa diatas bumi.
Sesuai konsep Veda, Varṇa
Dharma tidak berdasarkan kelahiran melainkan guṇa-karma. Akan tetapi dalam perkembangannya, diberbagai belahan
dunia, termasuk di Bali menjadi konsep garis keturunan, wangsa, soroh. Pergeseran ini sesungguhnya
tidaklah menjadi persoalan ketika konsep dasar ini dapat dipahami secara baik,
bahwa tugas seorang kṣatriya adalah
menjaga peradaban. Kṣatriya harus
meningkatkan kompetensi dirinya agar mampu menunaikan tugas dan kewajibannya secara
baik.
NK. Surpi Aryadharma. Dosen Filsafat Hindu IHDN, penulis
buku, peneliti (researcher), Dharmapracharaka (Penceramah Muda Hindu), Direktur
Vivekananda Spirit Indonesia (VSI), Pimpinan Gerakan Bhagavad Gita Indonesia, Lahir dari Klan Ksatria Arya Sentong di Bali
Komentar
Posting Komentar