Manuskrip Hindu Berusia 600 Tahun di Tanah Melayu
Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah
Manuskrip Hindu Berusia 600 Tahun di Tanah Melayu
Ni Kadek Surpi Aryadharma
Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari
Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari
Tanah
Melayu ternyata menyimpan sejarah Peradaban Hindu yang luar biasa. Swarna Dwipa atau swarnnabhūmi
sangat populer dalam naskah-naskah kuno India seperti Ramayana dan Arthasastra serta
prasastri-prasasti di Asia Tenggara, merupakan nama asli dari Pulau Sumatra
yang merupakan salah satu Alam Melayu atau Bhumi Melayu di Asia Tenggara. Swarna Dwipa merupakan pintu masuknya kembali peradaban
Veda setelah terbentuknya nusantara.
Selain itu, informasi yang sangat berharga dari para peneliti naskah
kuno, sebuah naskah sederhana yang disimpan sebagai pusaka oleh penduduk Tanah
Tanjung merupakan naskah Melayu yang tertua di dunia. Setelah dilakukan uji Radiocarbon, bahwa umur naskah Tanah
Tanjung lebih dari 600 tahun. Sementara itu, naskah Melayu yang sampai sekarang
dianggap naskah Melayu tertua adalah dua surat berhurup Jawi tertanggal tahun
1521 dan 1522 M yang ditulis oleh Sultan Abu Hayat dari Ternate kepada Raja
Portugal. Kedua surat tersebut hanya dapat bertahan selama hampir lima ratus
tahun disimpan dalam arsip nasional Portugal di Lisabon. Naskah Tanjung Tanah
merupakan Kitab Undang-Undang Kerajaan Melayu yang dikenal sebagai Kitab Sarasamuccaya-nya
Melayu. Bisa jadi naskah ini merupakan naskah Hindu tertua di Asia Tenggara
yang masih bisa ditemukan hingga saat ini.
Naskah
Tanjung Tanah ditemukan sebanyak dua kali. Pertama tahun 1941 oleh Petrus
Voorhoeve yang saat itu menjabat sebagai taalambtenar
(pegawai Bahasa pada zaman Kolonial) untuk wilayah Sumatera dan kedua kali oleh
Uli Kozok tahun 2002 yang menyebutnya
sebagai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Kozok menguraikan, kemungkinan bahwa
naskah berasal dari abad ke-14 dan merupakan naskah Melayu tertua, dengan empat
alasan, bahwa di dalam teks naskah tidak terdapat kata serapan dari Bahasa Arab
sehingga dapat disimpulkan bahwa naskah tersebut berasal dari zaman pra-Islam.
Sementara naskah yang ada pada abad ke-16 sudah padat dengan serapan dari
Bahasa Arab.Maharaja Dharmasraya dua kali disebut dalam naskah Tanah Tanjung,
sementara Kerajaan Dharmasraya hanya disebut pada sumber-sumber sejarah dari
abad ke-13 dan ke-14. Hal tersebut menjadi petunjuk kuat bahwa naskah tersebut
ditulis sebelum abad ke-15. Sebagian besar naskah ditulis dalam Bahasa Melayu,
namun terdapat kata pengantar dan kata penutup yang berbahasa Sanskerta, yang
memuja Maharaja Dharmasraya. Hal tersebut sangat berbeda dengan konvensi teks
yang berasal dari zaman Islam. Pada naskah Tanah Tanjung, selain teks beraksara
pasca-pallawa, terdapat satu lagi teks beraksara surat incung. Jenis aksara ini lebih tua dari naskah Kerinci yang
selama ini diketahui. Naskah Tanah Tanjung tertanggal dengan menggunakan tahun
Saka, namun tahunnya tidak terbaca. Penggunaan tahun Saka dan Bukan Tahun
Hijriah jelas menunjukkan bahwa naskah berasal dari zaman Pra-Islam.
Hasil
uji penanggalan radiocarbon Rafter
Radiocarbon Laboratory di Wellington, New Zealand, tertanggal 18 November
2003, naskah Tanah Tanjung dibenarkan
berusia pra Islam, dengan usia melebihi enam ratus tahun dan naskah Melayu yang
tertua yang pernah ditemukan . para ahli sepakat, naskah Tanah Tanjung merupakan Kitab
Undang-Undang Tanah Tanjung Naskah Melayu yang tertua yang berisi tentang
aturan-aturan yang berlaku di kerajaan ini. Naskah ini dimulai dengan pembukaan
Om Swasti serta menyebut Jyasta masa titi keresnapaksa.
Sementara, teks penutup menjelaskan Seloka
Dipati, yang berbunyi:
Pranemya diwang sirsa {a}maléswarang
Seloka Dipati
Aum
Pranemya serisa diwam, teriyukyadipati stutim,
nana-seteru {31) deretang wak{eti}
Nitri satra-samuksayam
Sembah dengan (menundukkan) kepala kepada Sang Dewa
Suci
Om, sembah
dengan (menundukkan) kepala kepada Sang Dewa
Pujaan kepada
Sang Dipati di tiga buana, (ialah) surga, dunia, dan pretala,
Sang pembela
(negeri) terhadap aneka musuh, yang berkata tegas,
Pemimpin para
Satria
Menarik
isi dari naskah Tanah Tanjung yang sarat dengan undang-undang yang berlaku. Di
bagian penutup naskah berisi pranamya,
dalam Bahasa Sanskerta berarti menundukkan kepada dan menyembah. Selain itu
sang Raja dipuji sebagai penguasa tiga buana,
sebuah model kosmologis yang dikenal luas di kalangan masyarakat penganut Sanatana Dharma, yakni Surga, Dunia dan Pretala atau Bhur, Bvah dan Svahloka,
yang menunjukkan tiga tingkatan dunia. Selain itu raja juga disebut sebagai
pemimpin Ksatria. Ksatria merupakan para pembela dan administrator negara yang
terlahir mengemban tugas untuk melindungi Negara.
Ni Kadek Surpi Aryadharma
Ketua Tim
Peneliti The Hindu Center of Indonesia/Vivekananda
Spirit Indonesia
Pimpinan Gerakan
Bhagavad Gita Indonesia
Dosen IHDN
Denpasar, Peneliti, Dharmapracharaka
Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari
Peneliti The Hindu Center of Indonesia/Vivekananda Spirit Indonesia
Mahasiswa Program Magister Diplomasi Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
Ni Nyoman Ayu Nikki Avalokitesvari
Peneliti The Hindu Center of Indonesia/Vivekananda Spirit Indonesia
Mahasiswa Program Magister Diplomasi Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
Keren
BalasHapus