Cara Umat Hindu Menyelesaikan Perselisihan Internal

 



    Peradaban Hindu mencatat,  sejak jaman kuno, Hindu memiliki cara-cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah atau perselisihan, baik internal maupun eksternal. 
Permasalahan internal, khusus mengenai persoalan doktriner dalam agama, baik menyangkut teologi, tata cara pemujaan atau munculnya sebuah gerakan baru, diselesaikan melalui cara khusus. Pengetahuan tersebut tercatat dalam puluhan teks-teks klasik anviksiki. Anviksiki sendiri diartikan sebagai ilmu studi kritis, logika dan penalaran dalam Hindu dan berkembang dalam seni komunikasi.
    Sejarah mencatat, Kebangkitan ajaran Buddha yang menyatakan diri keluar dari Veda (tidak mengakui Veda sebagai otoritas tertinggi) menyebabkan berbagai kegoncangan sekaligus membangkitkan berbagai geliat intelektual dan reformasi dalam tubuh Hindu. Budhisme telah mendominasi selama sekitar 1000 tahun (200 Sebelum Masehi-800 Setelah Masehi). Para Cendekiawan Hindu turun untuk melakukan Diskusi, Dialog dan bahkan debat. Puncaknya adalah Sri Sankaracarya yang berkeliling untuk melakukan debat mengalahkan sejumlah tokoh Buddhisme dan mengembalikan umatnya ke pangkuan Sanatana Dharma. 
Gerakan bhakti yang diawali oleh Sri Caitanya Mahaprabu juga menyebabkan pertanyaan dari pemimpin spiritual setelah Gaudiya Vaisnava tersebut diikuti oleh banyak orang. Sebab untuk membangun sebuah gerakan bhakti harus memenuhi persyaratan umum dasar diantaranya memiliki Bhasya yang kuat. Puncak perselisihan itu akhirnya diselesaikan dalam tarka. Sebuah lembaga (pertemuan formal) akhirnya digelar yang disaksikan secara ketat oleh Raja dengan menghadirkan para pemimpin dan cendekiawan baik dari pihak yang mengajukan keberatan, pihak yang dilaporkan danm pihak netral yang merupakan ahli Veda, Susastra, Sejarah maupun bidang lainnya. Pertemuan terhormat tersebut disebut dengan parisad dan dilakukan Tarka sebagai metode akhir. Biasanya Tarka berlangsung berhari-hari sampai pada titik lahirnya pemenang. Pihak yang dinyatakan kalah harusnya melebur ke pihak yang menang tanpa dendam. Akan tetapi dalam tarka yang terkait dengan Gerakan Bhakti ini, pihak yang menang tidak meleburkan pihak yang kalah karena merupakan gerakan spiritual yang absah dan sepakat untuk hidup rukun dan harmonis dan saling mendukung.


    Secara singkat, Hindu memiliki tiga tingkatan cara dalam menyelesaikan perselisihan internal yakni : Vada (diskusi), Samvada (Dialog) dan tarka (debat). Persoalan yang ringan cukup diselesaikan melalui diskusi, baik formal maupun informal. Samvada adalah metode yang sangat umum, dimana para pihak dihadirkan untuk melakukan dialog-diskusi dan saling mendengarkan sisi kebenaran masing-masing. Samvada dapat dilakukan dalam beberapa kali sampai terjadi menemui titik temu. Samvada sifatnya lebih formal, terdapat pihak yang berselisih dan tim ahli sebagai penengah. Ahli yang dihadirkan pun harus relevan dengan persoalan yang sedang dibahas. Jika permasalahan tidak juga dapat diselesaikan, maka cara terakhir adalah Tarka (Debat Intelektual). Tarka memiliki aturan yang ketat dan sifatnya sangat intelek. Tarka sama sekali tidak melibatkan emosi. Bahkan pihak yang emosi akan langsung dianggap kalah. Sebab emosi menandakan seseorang kehabisan pengetahuan. Pihak yang dinyatakan kalah dalam tarka harus melebur pada pihak yang menang. Menang dan kalah ditentukan dengan standar intelektual yang tinggi dibawah juri yang memiliki kredibilitas, keahlian yang sama sekali tidak memihak. 

Hindu tidak mengenal cara-cara brutal dalam menyelesaikan berbagai perselisihan internal dan satu hal yang pasti, lembaga umat tidak boleh mempermalukan umatnya. Jika ada kesalahan maka kesalahan tersebut dapat diperbaiki tanpa harus diselesaikan dengan kasar. Jika memang diperlukan, majelis umat dapat memanggil seseorang untuk memberikan klarifikasi, tetapi berlangsung secara tertutup. Bagaimana proses dan kejadiannya tidak boleh disampaikan keluar. progres atau Keputusan dan kesimpulan dapat disampaikan ke publik (namun harus mempertimbangkan menjaga nama baik dan kredibilitas umat yang diminta melakukan klarifikasi atau berinisiatif datang ke majelis menyampaikan sesuatu yang menyangkut dirinya) disertai seruan untuk kembali bersatu dan saling menghargai dalam semangat nilai Dharma. Seorang pemimpin dinyatakan berhasil manakala mampu menyatukan umat yang terbelah, bukan sebaliknya membelah umat yang bersatu. Muara dari semuanya adalah parasparam (upaya saling mencerahi). 

Demikian pula sesama penganut Dharma diajarkan untuk tetap saling menghargai dan permasalahan diselesaikan dengan cara-cara yang terhormat. Menghujat, mengintimidasi, persekusi bukan cara-cara yang disarankan !

Materi lengkat dapat dibaca pada buku Anviksiki ini 


Info Pemesanan : 081313555857

dapat juga dicek pada web berikut 

https://dharmapustakautama.com/

https://dharmapustakautama.com/produk-2/



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Parāśara Dharmaśāstra Smṛti untuk Kāliyuga yang Dilupakan

Svami Vivekananda dan Sukarno : Sang Pemegang Obor

Manuskrip Hindu Berusia 600 Tahun di Tanah Melayu